Penulis: Sidiq Harjanto
Bagi para pelaku industri kopi ataupun penikmat kopi sejati tentu mengikuti berita mengenai kenaikan harga kopi robusta yang gila-gilaan dalam dua tahun terakhir. Di tingkat petani, untuk kopi asalan saja sudah mencapai Rp. 65.000,-/kg per hari ini. Harga ini bervariasi untuk tiap daerah, ada yang lebih tinggi ataupun sedikit lebih rendah. Padahal, di musim panen tahun kemarin harga per kilogram maksimal mencapai kisaran Rp. 45.000,-. Artinya, ada kenaikan lebih dari 40% hanya dalam waktu satu tahun.
Mengutip dari Nikkei Asia, menggilanya harga robusta dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, cuaca ekstrem berupa peningkatan suhu udara dan kekeringan pada tahun-tahun ini telah membuat produksi kopi dari negara-negara produsen kopi robusta seperti Vietnam dan Indonesia drop. Banyak petani mengalami kegagalan panen, dan sebagian lagi memilih beralih ke komoditas lainnya.
Di sisi lain, permintaan kopi justru meningkat. Secara global, konsumsi kopi masyarakat dunia dalam 10 tahun terakhir meningkat 20%. China, yang pertumbuhan kelas menengahnya sedang tinggi-tingginya, menjadi juara dalam peningkatan permintaan kopi, pada angka 130%. Negara-negara produsen kopi, seperti Vietnam dan Indonesia sendiri, juga mengalami peningkatan ekstrem dalam tingkat konsumsi kopi.
Bloomberg menambahkan bahwa dengan adanya penurunan hasil panen, terjadi intensifikasi konsentrasi pasar. Perlu diketahui, kopi merupakan komoditas yang dihasilkan oleh tak kurang dari 12 juta petani di banyak negara. Namun, Vietnam dan Brazil menguasai lebih dari setengah ekspor global kopi.
Risiko di balik peningkatan harga
Melihat fenomena kenaikan ekstrem harga kopi, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, muncul kekhawatiran bahwa kualitas kopi justru akan menurun. Harga tinggi bisa memotivasi petani menjual kopi secepat mungkin karena kekhawatiran ketinggalan momen. Artinya, ada kemungkinan petani memanen kopinya sebelum benar-benar matang. Proses pascapanen tidak lagi menjadi perhatian, mengingat harga kopi asalan saja sudah sangat menggiurkan.
Kedua, ada kemungkinan ekstensifikasi atau perluasan kebun kopi. Petani tentu termotivasi untuk menambah luasan kebun dengan harapan bisa menambah jumlah panenan di masa yang akan datang. Perluasan kebun ini bisa saja mengancam lahan-lahan hutan yang tersisa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perluasan kebun kopi menjadi salah satu ancaman serius bagi kawasan hutan kita.
Bagaimana selanjutnya?
Peningkatan harga menjadi berkah tersendiri bagi para petani kopi di seluruh dunia, termasuk petani kopi dari Indonesia yang umumnya merupakan petani-petani kecil di perdesaan. Dengan harga yang terapresiasi dengan baik, harapannya bisa meningkatkan kesejahteraan para petani. Namun, kita juga jangan sampai terlalu larut dalam euforia.
Kenaikan harga kopi pada dua tahun terakhir jangan lantas menurunkan kualitas kopi yang dihasilkan. Komitmen untuk menjaga kualitas kopi harus dijaga. Kualitas ini dimulai dari pengelolaan kebun yang baik, pemanenan saat buah benar-benar matang, proses pascapanen yang baik, hingga pengemasan dan penyimpanan yang memenuhi standar.
Kita juga harus sadar dan siap dengan koreksi harga yang datang sewaktu-waktu. Ketimbang melakukan ekstensifikasi, akan lebih baik melakukan intensifikasi pada kebun-kebun kita. Model agroforestri yaitu mengombinasi berbagai komoditas dalam satu hamparan menjadi strategi yang ampuh bagi para petani. Dengan demikian ketika terjadi koreksi harga kopi, petani masih punya komoditas lain yang bisa jadi justru harganya sedang naik.