facebook instagram
Powered by Blogger.
  • Home
  • Tradisi
  • Produk
    • Kopi
      • Robusta
      • Arabika
    • Gula Aren
    • Gulo Ampas
    • Produk Lain
  • Burung Jatimulyo
  • Program
    • Adopsi Sarang Burung
    • Dana Riset dan Konservasi
  • Tentang Kami
    • Cerita Kami
    • Team

Kopi Sulingan

Kopi dan Konservasi Burung





Penulis: Sidiq Harjanto


Bagi para pelaku industri kopi ataupun penikmat kopi sejati tentu mengikuti berita mengenai kenaikan harga kopi robusta yang gila-gilaan dalam dua tahun terakhir. Di tingkat petani, untuk kopi asalan saja sudah mencapai Rp. 65.000,-/kg per hari ini. Harga ini bervariasi untuk tiap daerah, ada yang lebih tinggi ataupun sedikit lebih rendah. Padahal, di musim panen tahun kemarin harga per kilogram maksimal mencapai kisaran Rp. 45.000,-. Artinya, ada kenaikan lebih dari 40% hanya dalam waktu satu tahun.

Mengutip dari Nikkei Asia, menggilanya harga robusta dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, cuaca ekstrem berupa peningkatan suhu udara dan kekeringan pada tahun-tahun ini telah membuat produksi kopi dari negara-negara produsen kopi robusta seperti Vietnam dan Indonesia drop. Banyak petani mengalami kegagalan panen, dan sebagian lagi memilih beralih ke komoditas lainnya.

Di sisi lain, permintaan kopi justru meningkat. Secara global, konsumsi kopi masyarakat dunia dalam 10 tahun terakhir meningkat 20%. China, yang pertumbuhan kelas menengahnya sedang tinggi-tingginya, menjadi juara dalam peningkatan permintaan kopi, pada angka 130%. Negara-negara produsen kopi, seperti Vietnam dan Indonesia sendiri, juga mengalami peningkatan ekstrem dalam tingkat konsumsi kopi.

Bloomberg menambahkan bahwa dengan adanya penurunan hasil panen, terjadi intensifikasi konsentrasi pasar. Perlu diketahui, kopi merupakan komoditas yang dihasilkan oleh tak kurang dari 12 juta petani di banyak negara. Namun, Vietnam dan Brazil menguasai lebih dari setengah ekspor global kopi.

Risiko di balik peningkatan harga

Melihat fenomena kenaikan ekstrem harga kopi, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, muncul kekhawatiran bahwa kualitas kopi justru akan menurun. Harga tinggi bisa memotivasi petani menjual kopi secepat mungkin karena kekhawatiran ketinggalan momen. Artinya, ada kemungkinan petani memanen kopinya sebelum benar-benar matang. Proses pascapanen tidak lagi menjadi perhatian, mengingat harga kopi asalan saja sudah sangat menggiurkan.

Kedua, ada kemungkinan ekstensifikasi atau perluasan kebun kopi. Petani tentu termotivasi untuk menambah luasan kebun dengan harapan bisa menambah jumlah panenan di masa yang akan datang. Perluasan kebun ini bisa saja mengancam lahan-lahan hutan yang tersisa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perluasan kebun kopi menjadi salah satu ancaman serius bagi kawasan hutan kita.

Bagaimana selanjutnya?

Peningkatan harga menjadi berkah tersendiri bagi para petani kopi di seluruh dunia, termasuk petani kopi dari Indonesia yang umumnya merupakan petani-petani kecil di perdesaan. Dengan harga yang terapresiasi dengan baik, harapannya bisa meningkatkan kesejahteraan para petani. Namun, kita juga jangan sampai terlalu larut dalam euforia.

Kenaikan harga kopi pada dua tahun terakhir jangan lantas menurunkan kualitas kopi yang dihasilkan. Komitmen untuk menjaga kualitas kopi harus dijaga. Kualitas ini dimulai dari pengelolaan kebun yang baik, pemanenan saat buah benar-benar matang, proses pascapanen yang baik, hingga pengemasan dan penyimpanan yang memenuhi standar.

Kita juga harus sadar dan siap dengan koreksi harga yang datang sewaktu-waktu. Ketimbang melakukan ekstensifikasi, akan lebih baik melakukan intensifikasi pada kebun-kebun kita. Model agroforestri yaitu mengombinasi berbagai komoditas dalam satu hamparan menjadi strategi yang ampuh bagi para petani. Dengan demikian ketika terjadi koreksi harga kopi, petani masih punya komoditas lain yang bisa jadi justru harganya sedang naik.

Penulis: Kasidi


Mengawali tahun dengan spesial, Wanapaksi mengirimkan lima orang anggotanya untuk berpartisipasi sebagai peserta Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) XI. Diadakannya PPBI bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi antar pengamat burung se-Indonesia serta dapat menambah wawasan. Acara ini diadakan pada Jum’at – Minggu, 19 – 21 Januari 2024, bertempat di KPH Pekalongan Timur, Kota Pekalongan; dan Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan. Lebih dari seratus orang peserta datang dari berbagai penjuru tanah air.

Hari pertama, kegiatan berlangsung di Kantor Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pekalongan Timur, Kota Pekalongan dengan dibuka oleh Ketua Panitia PPBI XI Pada pukul 08:30 dan dilanjutkan dengan pematerian. Para pemateri yang tampil di antaranya: Dwi Nugroho Adhiasto dari Yayasan Science For Endangered And Trafficked Species (Scents), Marison Guciano dari Yayasan Terbang Indonesia atau Flight Indonesia Foundation, Bertie Ferns dari Cikananga Conservation Breeding Center, Happy Ferdiansyah dari Pusat Penyelamatan Burung Berkicau Wak Gatak (Yayasan Planet Indonesia), Andri Suhandri mewakili KTH Wanapaksi, dan Mutia Hanifah selaku koordinator pembuatan aplikasi pendataan burung.

Poin penting dalam materi yang diberikan adalah upaya pencegahan dan antisipasi terhadap perdagangan satwa liar yang dilindungi maupun yang belum dilindungi, baik skala nasional maupun skala internasional. Perlunya melakukan pendataan ulang jenis-jenis satwa di daerah masing –masing, serta pentingnya peran serta masyarakat luas sebagai tambahan informasi di lapangan. Setelah selesai acara , peserta berpindah ke Desa Mendolo di Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan untuk beristirahat dilanjutkan menginap di homestay milik warga setempat.

Menikmati durian, salah satu hasil bumi utama Desa Mendolo.

Hari kedua, peserta melanjutkan pengamatan burung dengan membagi beberapa kelompok. Pengamatan dimulai Pukul 08.00 - 12.00 WIB. di area hutan sekitar desa dengan didampingi pemandu lokal. Pengamatan tidak hanya pada burung saja, tetapi pada beberapa flora dan fauna lainnya seperti owa jawa yang saat ini statusnya terancam punah, serta beberapa spesies tumbuh-tumbuhan. Selesai pengamatan, peserta beristirahat sembari menunggu acara di malam hari.

Pada malam harinya, diisi dengan sesi diskusi yang diikuti oleh semua peserta PPBI. Poin penting yang didapat pada sesi ini adalah upaya penyelamatan burung-burung langka di Indonesia melalui relasi dan jaringan-jaringan di Indonesia. Penerbitan kembali buku Atlas Burung Indonesia, dan rencana kegiatan PPBI selanjutnya, alias yang ke-XII.

Bersama kelompok perempuan di Mendolo.

Hari terakhir, anggota KTH Wanapaksi menyempatkan waktu untuk bertemu dengan ibu-ibu penyedia homestay dan konsumsi. Dalam diskusi ini saling bertukar wawasan bagaimana pengelolaan homestay yang baik, pentingnya peran perempuan dalam sebuah kelompok/organisasi, pentingnya pengorganisasian, serta pentingnya pertemuan-pertemuan informal dalam organisasi yang justru dapat memunculkan ide-ide kreatif dan menjadikan organisasi tetap eksis dan semakin berkembang.

Setelah mengikuti rangkaian kegiatan PPBI XI 2024 di Pekalongan, kami merasakan manfaat yang besar, antara lain dapat memperluas wawasan di berbagai aspek dan menambah relasi atau hubungan baik dengan beberapa pihak. Semoga ke depannya kami dapat memperkuat tanggung jawab di dalam melaksanakan upaya konservasi bersama masyarakat.

Atas nama KTH Wanapaksi, saya mengucapkan terima kasih kepada Kopi Sulingan untuk dukungan pembiayaan mengikuti PPBI XI ini.

Penulis: Sidiq Harjanto


Dalam magnum opus-nya, Small is Beautiful (1973), ekonom Ernst Friedrich Schumacher menyebutkan bahwa syarat pembangunan itu ada tiga: pendidikan, organisasi, dan kedisiplinan. Tanpa ketiga unsur ini, semua sumber daya belum dapat dimanfaatkan. Tetap terpendam, tetap merupakan potensi belaka.

Pembangunan itu sendiri mestinya serupa dengan proses evolusi. Sedikit demi sedikit, melalui mutasi-mutasi kecil. Tidak bisa serta merta atau sak dheg sak nyet. Dengan kata lain, pembangunan berikut tiga syarat pendukung tadi tidak bisa "meloncat". Dalam proses pelan ini, semuanya harus terinternalisasi oleh seluruh masyarakat, menjadi milik masyarakat. 

Meskipun kodrat pembangunan itu pelan, sebisa mungkin evolusi itu dipercepat. KTH Wanapaksi telah memberi kontribusi nyata pada percepatan 'evolusi pembangunan' itu. Dalam skala kecil yang unik, katakanlah lingkup desa. Barangkali seperti itu juga yang dibayangkan Schumacher, sesuai tesisnya, "kecil itu indah".

Wanapaksi telah menyediakan ruang belajar bagi masyarakat, menjadi wahana pengorganisiran rakyat, sekaligus melatih kedisiplinan kepada anggota-anggotanya. Tiga syarat dasar telah dipenuhi. Maka yakin saja, Wanapaksi bisa menjadi motor penggerak pembangunan yang sejati. Pembangunan yang seperti apa? Yang berwajah kemanusiaan, yang menempatkan rakyat sebagai subjek, dan tentu saja pembangunan yang bertanggungjawab terhadap alam.

Selamat ulang tahun, KTH Wanapaksi!

Penulis: Pepy Noer Afidah (Sarjana Pendidikan Biologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Induk jantan Elang-alap jambul dan dua anakan (Foto: Kelik Suparno)

Burung pemangsa atau yang dikenal dengan raptor merupakan sekelompok pemburu yang tangguh. Mereka memiliki bentuk dan ukuran yang sangat bervariasi. Kekuatan dan keanggunan yang dimiliki dapat memberikan pesona tersendiri bagi penikmat raptor di alam.

Burung pemangsa menjadi top predator pada rantai makanan. Keberadaan mereka sangat penting bagi ekosistem karena dapat menjaga keseimbangan antar-organisme. Apabila keberadaannya di alam terganggu, maka akan terganggu pula rantai makanan dalam ekosistem tersebut.

Elang-alap memiliki kemampuan manuver yang sangat baik karena memiliki ukuran yang lebih kecil dari elang pada umumnya. Selain itu, bentuk sayap yang bulat dan ekor yang panjang juga mempengaruhi kelincahan elang-alap saat terbang di angkasa. Sayangnya, informasi mengenai elang-alap jambul (Accipiter trivirgatus) di Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga penelitian ini saya lakukan dengan tujuan menambah informasi mengenai burung elang-alap jambul yang sampai saat ini masih perlu kita jaga kelestariannya.

Elang-alap jambul tidak hanya menarik untuk dilihat, namun juga menarik untuk diamati di habitat aslinya. Sehingga, beberapa waktu lalu, tepatnya pada April-Maret 2023, saya dan teman-teman KTH (Kelompok Tani Hutan) Wanapaksi melakukan pengamatan terhadap perilaku pola asuh induk elang-alap jambul yang sedang dalam masa bersarang.

Lokasi sarang berada di Dusun Banyunganti, Jatimulyo. Selama 2 bulan saya dibuat terkesima dengan perilaku pola asuh yang dilakukan oleh induk elang-alap jambul kepada anak-anaknya.

Deskripsi Morfologi Elang-Alap Jambul (Accipiter trivirgatus)

Elang-alap jambul remaja (Foto: Supangat)

Elang-alap jambul merupakan burung pemangsa dengan ukuran tubuh sedang 30-46 cm. Tubuh yang kokoh dan sayap yang kuat memancarkan ketegasan saat terbang di angkasa. Kombinasi warna bulu yang mencolok dan corak-corak yang rumit merupakan keindahan yang dimiliki oleh elang-alap jambul.

Jantan dewasa memiliki tubuh bagian atas berwarna kelabu, kontras dengan tubuh bagian bawahnya yang berwarna putih, tenggorokan putih dengan garis mesial lebar, dada atas kemerahan dengan garis-garis gelap. Sedangkan pada betina memiliki tubuh bagian atas yang lebih kecoklatan dan dada pucat kemerahan. Ciri khas yang dimiliki oleh elang-alap jambul adalah jambul pendek yang tersamar. 

Distribusi dan Habitat 
Distribusi burung pemangsa yang luar biasa ini mencakup wilayah yang luas dan dapat ditemukan di berbagai belahan Asia. Preferensi habitatnya juga cukup beragam, mulai dari hutan hujan tropis yang rimbun, hutan lebat, bahkan daerah perkotaan. Hal ini karena elang-alap jambul memiliki kemampuan adaptasi yang baik di segala kondisi. Kemampuan adaptasi dan ketahanannya inilah yang menjadikan burung elang-alap jambul yang begitu luar biasa.

Perilaku Pola Asuh

Dua ekor anakan Elang-alap jambul usia 3 minggu. (Foto: Pepy N Afidah)

Elang-alap jambul merupakan predator yang sangat lincah dengan penglihatan yang sangat tajam. Mereka memiliki pendekatan unik terhadap reproduksi yang menunjukkan ketahanan dan dedikasi untuk memastikan kelangsungan hidup generasi mereka. Selama musim kawin yang biasanya terjadi antara bulan Maret dan Agustus, elang-alap jambul jantan dan betina mulai membentuk ikatan satu sama lain hingga menjadi pasangan yang siap untuk bereproduksi. 

Berikut merupakan beberapa perilaku pola asuh yang tercatat selama pengamatan:

1. Menyiapkan Sarang dan Inkubasi Telur
Elang-alap jambul akan membangun sarang di tempat yang tinggi, misalnya pada kanopi pohon, sebagai tempat perlindungan yang aman. Betina bertanggung jawab atas pembangunan sarang dengan menganyam ranting dan dahan sampai tercipta sarang yang nyaman bagi keturunannya di masa depan. Setelah sarang selesai, betina kemudian akan bertelur 2-3 butir yang kemudian dengan tekun akan diinkubasinya selama kurang lebih 35-40 hari. Selama periode ini, jantan bertanggung jawab untuk memenuhi asupan makanan bagi betina di sarang dan dirinya sendiri.

2. Mengerami Anak

Induk betina mengerami anak pada saat hujan (Foto: Pepy N Afidah)

Perilaku mengerami anak ini berbeda dengan inkubasi pada telur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, perilaku mengerami anak banyak dilakukan oleh induk betina dengan tujuan melindungi anak dari hujan dan menjaga suhu tubuh anak agar tetap hangat melalui suhu tubuh induk. 

3. Berburu
 
Induk betina membawa mangsa tupai (Foto: Hammaz Zia)

Elang-alap jambul merupakan pemburu yang handal. Ia memanfaatkan ukuran tubuhnya yang ringkas serta menggunakan berbagai teknik berburu untuk memperoleh mangsanya. Dengan jenis mangsa yang beragam, elang-alap jambul menyesuaikan strategi berburunya sesuai dengan mangsa yang tersedia di habitatnya. Misalnya pada saat berburu burung, elang-alap jambul akan menggunakan pendekatan secara tersembunyi dan mengandalkan kejutan serta ketangkasan menggunakan cakarnya yang tajam untuk menyergap burung. Sebaliknya, ketika menargetkan mamalia kecil atau reptil, elang-alap jambul akan memanfaatkan kecepatan dan akurasinya dengan menukik dari ketinggian untuk merebut mangsanya di tengah penerbangan.

4. Meloloh Anak

Induk jantan meloloh anakan dengan mangsa burung kecil (Foto: Pepy N Afidah)

Meloloh merupakan istilah umum di dunia Aves yang memiliki arti memberi makan kepada anak. Jumlah makanan yang dilolohkan induk kepada anak akan menurun seiring berjalannya waktu karena anak yang tumbuh mulai belajar makan secara mandiri. 

Anak akan mulai makan sendiri pada usia 5 minggu. Selanjutnya, pemberian mangsa oleh jantan sepenuhnya berhenti setelah anak mencapai usia 7 minggu. Proses meloloh pada elang-alap jambul dilakukan dengan mengoyak mangsa menjadi bagian-bagian kecil, kemudian induk betina melolohkan daging kepada anak.

5. Memantau anak
Perilaku memantau anak lebih banyak dilakukan oleh induk jantan dibandingkan induk betina. Perilaku memantau anak pada elang-alap jambul ditunjukkan dengan terbang di sekitar pohon sarang atau hinggap pada pohon yang berada disekitar sarang dengan melihat ke arah kanan dan kiri. Selain itu, beberapa kali dijumpai mengunjungi sarang untuk memastikan keadaan anak beberapa saat kemudian keluar kembali.

Dari beberapa perilaku yang sudah dijelaskan, terlihat bahwa perilaku pengasuhan anak di sarang banyak dilakukan oleh induk betina dibandingkan dengan induk jantan. Induk jantan banyak bertugas mengawasi dan memantau anak di luar sarang. Meski demikian, pasangan elang-alap jambul ini memiliki kerja tim yang baik dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kedalaman ikatan dan komitmen terhadap keberhasilan reproduksi.

Preferensi Makanan
Makanan elang-alap jambul sangat bervariasi mulai dari mamalia kecil, aves hingga reptil. Preferensi makanan yang paling tinggi ke rendah adalah bunglon, kadal, anak ayam, burung kecil, dan tupai. Berdasarkan pengamatan, induk elang-alap jambul sering terlihat membawa mangsa bunglon ke dalam sarang untuk diberikan kepada anak. Pada beberapa kesempatan, terlihat induk elang-alap jambul sedang meloloh anak ayam. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa induk elang-alap jambul memilih untuk memangsa anak ayam. Pertama, mungkin karena lokasi sarang yang dekat dengan pemukiman warga sehingga induk elang-alap jambul dengan mudah memangsa anak ayam atau kedua, mungkin mangsanya di alam semakin berkurang? Sepertinya perlu diamati lagi…

Referensi 
Galmes, M. A., Sarasola, J. H., Grande, J. M., & Vargas, F. H. (2018). Parental care of the endangered chaco eagle (Buteogallus coronatus) in Central Argentina. Journal of Raptor Research, 52(3), 316–325. https://doi.org/10.3356/JRR-16-82.1
Ridwan, I., At, M., & Rusli, A. R. (2014). Pemantauan Ekologi Sarang Elang Jawa (Spizaets bartelsi) Di Wilayah Hutan Cikaniki. Jurnal Nusa Sylva, 14(2), 43–46.
Taufiqurrahman, I., Akbar, P. G., Purwanto, A. A., Untung, M., Assiddiqi, Z., Iqbal, M., Wibowo, W. K., F.N, T., & Triana, D. A. (2022). Panduan Lapangan Burung-Burung di Indonesia Seri I: Sunda Besar (1st ed.). Birdpacker Indonesia-Interlude: Batu.


 Penulis: Kasidi | Penyunting: Sidiq Harjanto

 

Rutinitas sehari-hari membuat badan menjadi terasa lelah dan letih. Namun, rasa lelah itu terobati setelah kedatangan tamu untuk bermain dan belajar bersama dengan teman-teman. Rabu, 27 September 2023, saya dan teman-teman yang tergabung dalam kelompok KTH Wanapaksi kedatangan tamu istimewa. 

Murid-murid SD Negeri 1 Jonggrangan menjadi tamu yang kami anggap istimewa. Selain datang untuk bermain, mereka kami undang ke sekretariat KTH Wanapaksi untuk belajar mengenali lingkungan alam sekitar kita. Outing class, begitu istilahnya.

 


Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian program kegiatan tahunan KTH Wanapaksi dengan mengundang anak-anak usia sekolah sebagai penerus dalam upaya pelestarian lingkungan yang dijalankan teman-teman divisi konservasi. Sebanyak 70 peserta dari kelas IV, V, VI dan tiga orang guru pendamping yang kami undang.

Tepat pukul 08.00, diawali dengan sambutan oleh ketua KTH Wanapaksi dan perwakilan BKSDA Yogyakarta, lalu dilanjutkan dengan kegiatan di lapangan. Sebelum berangkat, tak lupa foto bersama dan pembagian kelompok terlebih dahulu. Selama perjalanan lapangan, anak-anak diberi pemahaman mengenai pentingnya sumber air, batuan kars, dan tumbuhan bagi kehidupan. Kami juga dibantu oleh teman teman mitra kami, Yayasan Kanopi Indonesia, guna memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi anak- anak.

 


Setelah selesai di lapangan, perjalanan kembali ke sekretariat KTH untuk istirahat dan makan siang. Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab yang berkaitan dengan hasil belajar lapangan. Hadiah diberikan kepada mereka yang aktif sehingga membuat anak-anak begitu ramai dan gembira. Selesai pada pukul 11.45 dengan doa penutup dan kembali ke Jonggrangan.

Foto dok. Supangat




Penulis:  Alfian Surya Fathoni, Canavalia Wedelia Arfentri, Nur Roid Nafiatul Azizah, M Ikhsan Al Ghazi, Naufal Urfi Dhiya'ulhaq, Raafi Nur Ali

 
Laba-laba Cheiracanthium daquilium (Cheiracanthiidae) (Dok. Alfian S. Fathoni)

Kalurahan Jatimulyo menjadi salah satu hotspot keanekaragaman hayati, geodiversitas, dan budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentang alam Jatimulyo sebagai bagian dari perbukitan karst Menoreh didominasi oleh hutan rakyat atau wanatani. Sistem pemanfaatan lahan yang juga bisa disebut dengan agroforestri.

Masyarakat lokal telah lama menerapkan hutan perkebunan dengan menanam tanaman keras, seperti pohon kelapa, aren, dan sengon yang menaungi pohon kopi, coklat, dan vanili. Kombinasi perbukitan Menoreh yang hijau dengan hutan perkebunan yang rapat itu membuat Jatimulyo menjadi habitat kehidupan alam liar yang bagus. Hal inilah yang ikut menjadikannya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Mufti, 2020). 

Jatimulyo menggaungkan diri sebagai “Desa Ramah Burung”, sebuah aksi konservasi nyata yang dilatarbelakangi hilangnya kicauan burung di pagi hari akibat praktik perburuan di masa lalu. Berbicara konservasi di sana, terdapat hal yang menarik dari komoditas perkebunan, yaitu kopi. Tahun 2014 tercetus ide untuk menjadikan kopi sebagai “duta konservasi burung” di Jatimulyo. Langkah ini disusul setahun berikutnya, dengan mendirikan “Kopi Sulingan” yang menjadi simbol harmonisasi hubungan antara manusia, alam, dan satwa. Nama ini diambil dari nama burung kicauan, yaitu sulingan atau tledekan dengan nama latin Cyornis banyumas. Burung sulingan sendiri dipilih sebagai nama karena jenis itu menjadi burung kebanggaan masyarakat Jatimulyo (Sulfiantono, 2018).

Jatimulyo seluas 1.600 ha dengan ketinggian antara 300-800 meter di atas permukaan laut memiliki jenis kopi yang dibudidaya sejak zaman kolonial, yaitu kopi robusta (dominasi) dan arabika dataran rendah (unik & istimewa). Nostalgia tulisan Imam Taufiqurrahman,  Sidiq Harjanto, dan Kelik Suparno yang berjudul “Birds and Coffee: community-led conservation in Jatimulyo village, Yogyakarta, Java, Indonesia” (Taufiqurrahman dkk, 2019) mencatat setidaknya ada 99 spesies burung di Jatimulyo. Kami (Kalamangga), menuliskan “Laba-laba dan Kopi: pentingnya konservasi laba-laba dan dampaknya terhadap komoditas kopi di Jatimulyo”. Tercatat lebih dari 148 spesies laba-laba di Jatimulyo dari pendataan kami sepanjang 2023 ini.

 

Laba-laba dari Suku Thomisidae (Dok. Alfian S. Fathoni)

Kopi sebagai komoditas unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha konservasi biodiversitas di Jatimulyo, tentunya memiliki gangguan berupa agroklimat dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (Heryanto, 2021). Di sinilah peran beberapa spesies laba-laba sebagai pengontrol hama tanaman kopi jarang diketahui, bahkan dianggap tidak memiliki peran secara langsung oleh masyarakat awam. 

Laba-laba diperkirakan memakan 400-800 juta ton mangsa pertahun dalam berbagai tipe ekosistem (Nyffeler & Birkhofer, 2016). Hal tersebut membuat keberadaan laba-laba pada suatu habitat, terutama lahan agrikultur sangat penting untuk menekan populasi hama tanaman budidaya. Sekitar setengah dari semua jenis laba-laba di dunia menggunakan jaring untuk menangkap mangsa, sementara setengahnya lagi menangkap mangsa tanpa mengandalkan jaring (Taylor, 2013). Perilaku berburu laba-laba dilakukan dengan bersembunyi atau mengejutkan mangsa, seperti famili Thomisidae, atau dengan mengintai dan mengejar mangsanya seperti famili Salticidae.

Selain menjadi predator, laba-laba juga memberikan kontribusi penting dalam ekosistem di kawasan Jatimulyo. Jaring laba-laba Nephilla pilipes seringkali menjadi material sarang bagi beberapa burung pemakan serangga, seperti empuloh janggut (Alophoixus bres) dan kehicap ranting (Hypothymis azurea). Jaring laba-laba ini berperan sebagai perekat bagi material-material lainnya (BirdNote, 2022). Beberapa burung pemakan serangga menjadikan laba-laba sebagai bagian dari pakannya. Selain itu, laba-laba mengandung banyak senyawa taurine yang sangat penting untuk pertumbuhan anakan burung (BirdFact, 2021).

Nephila pilipes (Dok. Alfian S. Fathoni)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh kelompok Kalamangga Jogja, terdapat 148 jenis laba-laba dan 36 jenis di antaranya ditemukan di sekitar komoditas kopi. Laba-laba dari famili Salticidae, Cheiracanthiidae, Araneidae, Tetragnathidae, Oxyopidae, Clubionidae, dan Lycosidae yang telah ditemukan memiliki peran sebagai pengontrol hama (Sarma et al. 2013). Peran ini sangat bermanfaat bagi keberlangsungan produksi kopi di Jatimulyo.

Dengan melindungi habitat laba-laba, keberlanjutan produksi kopi yang berkualitas tinggi di Jatimulyo dapat dipastikan, sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. Harapan kami aksi nyata yang selaras dengan Peraturan Desa No 08 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup dapat terus terjaga.dari generasi kini sampai generasi selanjutnya.  


DAFTAR PUSTAKA
BirdFact. 2021. Do Birds Eat Spiders? (Complete Guide). Diakses pada laman : https://birdfact.com/articles/do-birds-eat-spiders pada tanggal 28 juli 2023
BirdNote. 2022. Spider Silk - Duct Tape for Bird Nests: A flexible, resilient material for construction and repair. Diakses pada laman : https://www.birdnote.org/listen/shows/spider-silk-duct-tape-bird-nests pada tanggal 28 juli 2023
Taylor, B. 2013. Sensational Spiders: A comprehensive guide to some of the most intriguing creatures in the animal kingdom. Armadillo.
Heryanto, R. 2021. Mengenal Ciri-ciri, Gejala, Serangan dan Pengendalian Hama Tanaman    Kopi (Coffea sp.). BPPSDMP: Kementerian Pertanian.
Mufti, F. 2020. Struktur Komunitas dan Upaya Konservasi Burung Di Desa Jatimulyo, Kulon Progo, D.I.Y. Thesis. Biologi: UGM
Nyffeler, M. & K. Birkhofer. 2017. An Estimated 400-800 Million Tons of Prey are Annually Killed by the Global Spider Community. Sci Nat, vol 104:30.
Sarma, S., D. Pujari & Z. Rahman. 2013. Role of Spiders in Regulating Insect Pests in the Agricultural Ecosysten -An Overview. JIARM: 100-117.
Sulfiantono, A. 2018. Desa Ramah Burung Ke Desa Wisata dan Tangguh Bencana. Kedaulatan Rakyat, 22 Desember 2018. Yogyakarta.
Taufiqurrahman, I., S. Harjanto & K. Suparno. 2019. Birds and coffee: Community-led Conservation in Jatimulyo Village, Yogyakarta, Java, Indonesia. BirdingASIA 32: 108–111.



Older Posts

Serba-Serbi

  • Riset
  • Opini
  • Desa Ramah Burung
  • Kopi Konservasi
  • Liputan
  • Profil
  • Shade Grown Coffee
  • Adopsi Sarang Burung
  • Sejarah
wa

Follow Us

Created By SoraTemplates | Distributed by GooyaabiTemplates