Minggu pagi minum kopi di Jatimulyo
Hari masih pagi, selimut kabut nampak enggan untuk pergi. Sinar matahari tampak malu menampakkan diri. Jalanan nampak basah. Ada beberapa potongan ranting berserakan di tengah jalan, menandakan tadi malam hujan lebat.
Jalanan sudah ramai dengan lalu lalang aktivitas pagi. Pedagang sayur berseliweran, ibu separuh baya berjalan di tepi jalan sambil pegang sabit—lengkap bersama gendongan jarik motif lurik warna hitam kusam. Tampak pedagang durian pinggir jalan menyiapkan dagangannya. Pedagang petai menggantungkan petainya di rak bambu yang dipajang berdiri di pinggir jalan.
Tepat pukul 07.20 saya sampai di Jatimulyo, dikenal sebagai “desa ramah burung”. Hanya satu setengah jam dari pusat kota Yogyakarta. Desa ini masuk Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara administratif, penyebutan kapanewon resmi menggantikan kecamatan. Camatnya disebut panewu. Sementara desa disebut kalurahan, dikepalai oleh lurah. Kebijakan khusus untuk Kulon Progo ini menjadi turunan dari undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saya langsung menuju Omah Kopi Sulingan, tempat favorit bagi para pemerhati burung, pecinta kopi dan konservasi. Tiga orang berseragam tentara sedang berbincang-bincang di sana, sambil membuat catatan kecil. Mas Kelik, salah satu owner Kopi Sulingan nampak sibuk menyiapkan kopi untuk tiga tentara tersebut.
Saya menemuinya untuk sekedar salam dan sapa sambil menaruh tas bawaan. Saya memilih duduk di kursi pojok dekat pintu masuk, sambil mengeluarkan beberapa gorengan: bakwan, tempe dan makanan ringan lainnya. Tidak lupa saya tawarkan untuk makan kepada Pak Paridi, yang kebetulan sedang duduk sambil menghisap rokok.
Pak Paridi membuka pembicaraan, bertanya soal lokasi pengamatan dalam rangka penelitian tesis yang tengah saya lakukan.
“Ke Pringtali Pak, bersama Mas Pangat,” jawab saya.
Tidak lama kemudian, ada satu rombongan tamu datang. Berseragam batik, lengkap dengan name tag yang menempel di kantong baju sebelah kiri. Tak segan tiga orang berseragam tentara yang awalnya duduk di kursi tengah, bergeser pindah posisi ke kursi ke sebelah rombongan dari Dinas Pertanian, entah kabupaten atau provinsi.
Tujuan saya hari itu sebenarnya ingin menemui Mas Kelik, menanyakan beberapa hal dalam penelitian saya terkait struktur komunitas dan upaya konservasi burung di Jatimulyo. Guna mengetahui struktur komunitas burung, saya mesti blusukan dan menyapa burung-burung desa ini. Soal upaya konservasi burung, Mas Kelik lah salah satu narasumbernya. Namun, tampaknya ia sibuk karena banyak tamu hari ini.
Sambil menunggu saya mengeluarkan kamera buat mengambil gambar burung. Siapa tahu ada yang lewat. Tebing karst menjulang yang jadi latar belakang rumah Mas Kelik tampak berselimut kabut.
Tiga puluh menit berlalu. Selimut kabut perlahan hilang dan sinar matahari mulai terlihat terang. Saat menikmati pemandangan, mengamati gerakan-gerakan ranting dan dedaunan yang mencurigakan, tiba-tiba secangkir kopi disuguhkan Pak Paridi. Terima kasih kopinya Pak.
Burung-burung mulai berseliweran. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah cabai bunga-api Dicaeum trigonostigma. Teramati sepasang sedang bertengger menyantap buah pisang yang sengaja digantungkan. Buah tertancap di batang pohon mangga. Tidak terlalu tinggi, bahkan sejajar dengan pandangan mata.
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil gambar. Sayang kalau sampai melewatkan. Beberapa jepretan saya dapatkan. Allhamdulillah, mantap ini, saya pikir. Ternyata, sepasang burung ini tidak hanya sekadar mampir, tapi juga mondar-mandir datang dan pergi, berkali-kali. Seperti tidak peduli dengan keramaian orang di sekitarnya. Sampai bosan saya melihat mereka makan, tampak asyik berdua, serasa yang lain ngontrak.
Sesekali mengalihkan pandangan lain, terlihat pergerakan daun bayam yang mencurigakan, tepatnya di pekarangan depan pintu masuk. Ooo, cinenen pisang Orthotomus sutorius. Oke. Sekali lagi, tanpa pikir panjang, sesegera mungkin saya ambil gambarnya. Beberapa jepretan saya dapatkan. Alhamdulillah dapat. Tentu di sela-sela mengambil gambar, sambil makan gorengan, minum kopi, sesekali saya berbincang dengan Pak Paridi dan tiga tentara di sebelah.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara khas burung pijantung gunung Arachnothera affinis “Cret-cret-cret-cret” dengan nada tempo tinggi. Penasaran dengan sumber suara tersebut, mata langsung tertuju pada jantung pisang, tepat terletak di sebelah rumah Mas Kelik. Benar rupanya. Seekor sedang mencari nektar pada bunga jantung pisang itu.
Tapi sayang, saya tidak mendapatkan gambarnya. Apalah daya, tangan dan kamera belum siap. Tangan pegang gorengan, kamera tergeletak. Saya tunggu beberapa menit, dia tidak muncul juga. Sepertinya dia hanya lewat dan mampir saja. Tidak beberapa lama kemudian, suara elang-ular bido Spilornis cheela terdengar tidak jauh.
Syahdu memang di Desa Jatimulyo ini. Tidak salah slogan “Desa Ramah Burung”.
Sambil meneruskan minum kopi dan makan gorengan, sesekali berbincang-berbincang dengan orang sekitar, saya bisa menyaksikan burung menari dan bernyanyi. Syukur-syukur dapat gambarnya. Serasa memelihara burung di alam. Tanpa sangkar, tanpa repot merawat, keluar masukan setiap pagi dan sore hari, karena khawatir pencuri. Tinggal disediakan makan, burung sudah datang sendiri.
Jalanan sudah ramai dengan lalu lalang aktivitas pagi. Pedagang sayur berseliweran, ibu separuh baya berjalan di tepi jalan sambil pegang sabit—lengkap bersama gendongan jarik motif lurik warna hitam kusam. Tampak pedagang durian pinggir jalan menyiapkan dagangannya. Pedagang petai menggantungkan petainya di rak bambu yang dipajang berdiri di pinggir jalan.
Tepat pukul 07.20 saya sampai di Jatimulyo, dikenal sebagai “desa ramah burung”. Hanya satu setengah jam dari pusat kota Yogyakarta. Desa ini masuk Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara administratif, penyebutan kapanewon resmi menggantikan kecamatan. Camatnya disebut panewu. Sementara desa disebut kalurahan, dikepalai oleh lurah. Kebijakan khusus untuk Kulon Progo ini menjadi turunan dari undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saya langsung menuju Omah Kopi Sulingan, tempat favorit bagi para pemerhati burung, pecinta kopi dan konservasi. Tiga orang berseragam tentara sedang berbincang-bincang di sana, sambil membuat catatan kecil. Mas Kelik, salah satu owner Kopi Sulingan nampak sibuk menyiapkan kopi untuk tiga tentara tersebut.
Saya menemuinya untuk sekedar salam dan sapa sambil menaruh tas bawaan. Saya memilih duduk di kursi pojok dekat pintu masuk, sambil mengeluarkan beberapa gorengan: bakwan, tempe dan makanan ringan lainnya. Tidak lupa saya tawarkan untuk makan kepada Pak Paridi, yang kebetulan sedang duduk sambil menghisap rokok.
Pak Paridi membuka pembicaraan, bertanya soal lokasi pengamatan dalam rangka penelitian tesis yang tengah saya lakukan.
“Ke Pringtali Pak, bersama Mas Pangat,” jawab saya.
Tidak lama kemudian, ada satu rombongan tamu datang. Berseragam batik, lengkap dengan name tag yang menempel di kantong baju sebelah kiri. Tak segan tiga orang berseragam tentara yang awalnya duduk di kursi tengah, bergeser pindah posisi ke kursi ke sebelah rombongan dari Dinas Pertanian, entah kabupaten atau provinsi.
Tujuan saya hari itu sebenarnya ingin menemui Mas Kelik, menanyakan beberapa hal dalam penelitian saya terkait struktur komunitas dan upaya konservasi burung di Jatimulyo. Guna mengetahui struktur komunitas burung, saya mesti blusukan dan menyapa burung-burung desa ini. Soal upaya konservasi burung, Mas Kelik lah salah satu narasumbernya. Namun, tampaknya ia sibuk karena banyak tamu hari ini.
Sambil menunggu saya mengeluarkan kamera buat mengambil gambar burung. Siapa tahu ada yang lewat. Tebing karst menjulang yang jadi latar belakang rumah Mas Kelik tampak berselimut kabut.
Tiga puluh menit berlalu. Selimut kabut perlahan hilang dan sinar matahari mulai terlihat terang. Saat menikmati pemandangan, mengamati gerakan-gerakan ranting dan dedaunan yang mencurigakan, tiba-tiba secangkir kopi disuguhkan Pak Paridi. Terima kasih kopinya Pak.
Burung-burung mulai berseliweran. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah cabai bunga-api Dicaeum trigonostigma. Teramati sepasang sedang bertengger menyantap buah pisang yang sengaja digantungkan. Buah tertancap di batang pohon mangga. Tidak terlalu tinggi, bahkan sejajar dengan pandangan mata.
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil gambar. Sayang kalau sampai melewatkan. Beberapa jepretan saya dapatkan. Allhamdulillah, mantap ini, saya pikir. Ternyata, sepasang burung ini tidak hanya sekadar mampir, tapi juga mondar-mandir datang dan pergi, berkali-kali. Seperti tidak peduli dengan keramaian orang di sekitarnya. Sampai bosan saya melihat mereka makan, tampak asyik berdua, serasa yang lain ngontrak.
Sesekali mengalihkan pandangan lain, terlihat pergerakan daun bayam yang mencurigakan, tepatnya di pekarangan depan pintu masuk. Ooo, cinenen pisang Orthotomus sutorius. Oke. Sekali lagi, tanpa pikir panjang, sesegera mungkin saya ambil gambarnya. Beberapa jepretan saya dapatkan. Alhamdulillah dapat. Tentu di sela-sela mengambil gambar, sambil makan gorengan, minum kopi, sesekali saya berbincang dengan Pak Paridi dan tiga tentara di sebelah.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara khas burung pijantung gunung Arachnothera affinis “Cret-cret-cret-cret” dengan nada tempo tinggi. Penasaran dengan sumber suara tersebut, mata langsung tertuju pada jantung pisang, tepat terletak di sebelah rumah Mas Kelik. Benar rupanya. Seekor sedang mencari nektar pada bunga jantung pisang itu.
Tapi sayang, saya tidak mendapatkan gambarnya. Apalah daya, tangan dan kamera belum siap. Tangan pegang gorengan, kamera tergeletak. Saya tunggu beberapa menit, dia tidak muncul juga. Sepertinya dia hanya lewat dan mampir saja. Tidak beberapa lama kemudian, suara elang-ular bido Spilornis cheela terdengar tidak jauh.
Syahdu memang di Desa Jatimulyo ini. Tidak salah slogan “Desa Ramah Burung”.
Sambil meneruskan minum kopi dan makan gorengan, sesekali berbincang-berbincang dengan orang sekitar, saya bisa menyaksikan burung menari dan bernyanyi. Syukur-syukur dapat gambarnya. Serasa memelihara burung di alam. Tanpa sangkar, tanpa repot merawat, keluar masukan setiap pagi dan sore hari, karena khawatir pencuri. Tinggal disediakan makan, burung sudah datang sendiri.
Foto dan tulisan oleh: Faradlina Mufti, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Baca tulisan Mufti tentang pengalaman melakukan riset di Jatimulyo: Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung.
0 comments