Burung Madu pun Punya Selera (2)
Tahun lalu, Ajeng merampungkan tesisnya yang berjudul “Pembagian relung ekologis tiga spesies burung Nectariniidae pada kawasan agroforestri di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo”. Kini, master burung yang menimba ilmu di Program Studi Magister Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada ini berbagi mengenai yang ia kaji lewat penelitiannya.
Tulisan ini adalah kelanjutan dari ceritanya mengenai riset relung ekologis burung madu di Jatimulyo. Bagian pertama bisa dibaca pada tautan ini. Sebelumnya, ia juga sempat bercerita dalam “Nectariniidae dan alam Jatimulyo dalam harmonisasi”.
Apakah selera yang sama menjadikan burung-burung madu berebutan pakan? Jawabannya, tentu saja iya.
Meski ketiga burung madu (dan juga jenis burung madu lainnya) saling berebut memakan jenis nektar di bunga yang sama, nyatanya, kompetisi yang ada tidak begitu jelas terlihat. Burung madu ternyata memiliki waktu dan ruang mereka sendiri. Itu disesuaikan pada “selera” mereka, seperti yang dijelaskan di awal.
Berdasarkan pengamatan yang telah saya lakukan selama dua bulan keluar masuk hutan milik warga Jatimulyo, tiap-tiap jenis memiliki waktu makan mereka masing-masing yang berbeda. Tidak terlihat jelas pertemuan antar-jenis burung madu ini saat mereka mencari makan.
Ada yang sering mencari makan, seperti pada burung-madu Jawa. Ada pula yang memilih untuk makan di lebih sedikit jenis bunga, seperti pada pijantung kecil. Bentuk paruh membuatnya semakin selektif memilih jenis makanan.
Dari sekian banyaknya tumbuhan yang terbentang di luasnya Jatimulyo, ternyata tak semua tumbuhan berbunga dipilih oleh ketiga burung madu ini loh. Saya mencatat (yang teramati oleh mata terbatas saya) ada 23 jenis tumbuhan berbunga yang dimakan oleh ketiga burung madu ini.
Sebagian besar merupakan golongan tumbuhan epifit, tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain. Namun uniknya, ketiga burung madu ini paling senang memilih kelapa dengan manggarnya yang melimpah sebagai makanan pokoknya. Alias, paling banyak teramati dimakan oleh burung-burung ini.
Selain kelapa, jantung pisang juga menjadi menu primadona. Sepertinya, faktor tersebut juga dipengaruhi oleh banyaknya tumbuhan tersebut yang bisa kita temui di hutan Jatimulyo dan sekitarnya.
Lalu, bagaimana dengan adanya ruang yang dimaksud sebelumnya? Ruang di sini bisa dibilang seperti wilayah kekuasaan, luasan wilayah tempat mencari makan, dimana ketiga burung tersebut mencari makan di wilayah yang saling beririsan. Wilayah di sini, termasuk jumlah pemilihan jenis tumbuhan pakannya.
Semakin banyak jenis tumbuhan yang dimakan, maka akan semakin luas pula ruangnya. Ruang, dalam hal ini, secara ekologi disebut dengan “relung”. Apabila semakin luas relungnya, tentu saja harapan hidup suatu hewan akan semakin tinggi. Semakin mudah pula mereka akan beradaptasi dengan lingkungan, karena tidak menjadi pemilih makanan. Sebaliknya, semakin pemilih dalam menentukan selera, maka akan semakin kecil pula harapan hidupnya.
Ruang relung burung-madu jawa adalah yang paling luas dari ketiga burung madu yang saya amati. Sedangkan burung-madu kelapa dan pijantung kecil menjadi jenis yang paling banyak berbagi ruang. Melihat betapa cukup banyak jenis bunga-bungaan yang serupa yang dimakan oleh kedua burung ini, jelas terlihat bahwa kompetisi yang paling sering terjadi adalah pada kedua jenis itu. Meski demikian, tak banyak dari pengamatan saya yang bisa membuktikan adanya kompetisi rebutan makanan di lapangan. Sekali lagi, membutuhkan waktu lebih banyak untuk terus melanjutkan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Abrahamczyk S. dan M. Kessler. 2010. Hummingbird diversity, food niche characters, and assemblage composition along a latitudinal precipitation gradient in the Bolivian lowlands. J Ornithol 151(3): 615–625
Anonymous. 2016. Desa Wisata Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo. Yayasan Kutilang Indonesia (www.kutilang.or.id/ekowisatadiy/desawisatajatimulyokp). Accessed on27 Maret 2020
Bibby, C., M. Jones, dan S. Marsden. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Bogor: BirdLife International-Indonesia Programme
Cheke, R. A. dan C. F. Mann. 2008. Sunbirds: A Guide to the Sunbirds, Flowerpeckers, Spiderhunters, and Sugarbirds of the World 7th Edition. New Haven: Yale University Press
Cornell, H. V. 2011. Niche Overlap. Encyclopedia of Theoretical Ecology pp.489-497 University of California Press
Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology 2nd Edition. London: Pearson Education
Perera, P.I.P., Hocher V., Weerakoon L.K., Yakandawala D.M.D., Fernando S.C.,. Verdeil J.-L. 2010. Early inflorescence and floral development in Cocos nucifera L. (Arecaceae: Arecoideae). S Afr J of Bot 76: 482–492
Pianka, E. R. 2011. Evolutionary Ecology 7th Edition. New York: Harper and Row
Riegert, J., D. Fainova´, M. Antczak, O. Sedla´cˇek, D. Horˇa´k, J. Reif, Michal Pesˇata. 2010. Food niche differentiation in two syntopic sunbird species: a case study from the Cameroon Mountains. J Ornithol 152: 819–825
Snow B.K. dan D.W. Snow. 1972. Feeding niches of hummingbirds in a Trinidad valley. J Anim Ecol 41(2):471–485
Stover, R.H. dan Simmonds, N.W. 1987. Bananas (3rd ed.). Harlow, England: Longman
Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Kulon Progo. 2018. Kecamatan Girimulyo dalam angka. Kulon Progo: PT. Solo Grafika Utama
Tokeshi, M. 1999. Species Coexistence: Ecological and Evolutionary Perspectives. Oxford: Blackwell Science.
van Steenis, C.G.G.J. 2005. Flora Pegunungan Jawa. Bogor: LIPI.
*Foto: Burung madu jawa (Kelik S.)
0 comments